JANGAN IKUT
SHOLAT BERJAMA'AH BERSAMA IMAM SHOLAT YANG BERISTIGHOSAH KEPADA ORANG MATI
( Makna istighasah :
meminta pertolongan/bantuan dalam kondisi yang sangat membutuhkan/sangat
darurat )
Soal : Apakah sah
sholat yang aku lakukan dengan menjadi makmum di belakang seorang imam yang dia
beristighasah kepada selain Allah ? Dan orang yang menjadi imam shalat tersebut
sering mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini :
“Kami beristighasah kepada engkau wahai Jailani (Abdul Qadir Jailani yang telah
mati).” Jika aku tidak menemukan orang selain dia untuk shalat menjadi makmum
di belakangnya dalam shalat berjama’ah di masjid, maka apakah boleh bagiku
untuk shalat di rumahku? (Tidak berjama’ah di masjid karena imam shalatnya
adalah orang yang beristighasah kepada selain Allah).
Jawab : Tidak boleh
bagimu untuk shalat dengan menjadi makmum di belakang orang-orang musyrik. Dan
termasuk dari golongan orang-orang yang dihukumi musyrik adalah orang yang
beristighasah kepada selain Allah. Hal ini karena istighasah kepada selain
Allah dengan meminta pertolongan/bantuan dalam kondisi yang sangat
membutuhkan/sangat darurat kepada orang-orang yang sudah mati,
berhala/patung-patung, jin-jin dan yang selainnya adalah merupakan perbuatan
syirik kepada Allah.
Adapun beristighasah
kepada orang yang masih hidup, yang orang itu hadir/ada, dan dia memiliki
kemampuan untuk membantu engkau dari apa yang engkau minta tolong padanya (
syarat lainnya : orang itu mendengar, tidak dalam keadaan tuli/tidur.
Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh) , maka hal ini tidak mengapa. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang kisah Musa
‘alaihissalam (artinya) : ” maka orang yang berasal dari golongan Musa meminta
pertolongan kepada Musa, agar Musa membantunya untuk mengalahkan musuhnya (
yang berasal dari golongan fir’aun).” (Q.S. Al Qashash : 15)
Dan jika engkau tidak
mendapatkan imam yang muslim selain imam yang musyrik tadi untuk engkau shalat
di belakangnya, maka boleh bagimu untuk shalat di rumahmu.
Dan jika engkau mendapatkan ada jama’ah kaum muslimun yang mereka sanggup untuk
shalat di masjid tersebut dengan diimami seorang imam yang muslim, sebelum atau
sesudah imam yang musyrik itu mengimami shalat, maka shalatlah engkau bersama
jama’ah kaum muslimin tersebut.
Dan jika kaum muslimin
mempunyai kemampuan untuk memberhentikan/memecat imam yang musyrik itu sebagai
imam di masjid tersebut dan kemudian kaum muslimin mereka memilih / menunjuk
seorang imam baru yang muslim untuk shalat mengimami manusia, maka perkara ini
wajib dilakukan oleh kaum muslimin.
Hal ini karena yang demikian termasuk bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar
dan perkara tersebut untuk menegakkan syari’at Allah di bumi-Nya. Akan tetapi
perkara yang demikian memungkinkan untuk dilakukan selama tidak menimbulkan
fitnah.
Perkara amar ma’ruf dan
nahi munkar ini berdasarkan firman Allah ta’ala (artinya) : ” Dan orang-orang
mu’min yang laiki-laki dan orang-orang mu’min yang perempuan sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagai yang lain. Mereka memerintahkan untuk menjalankan
kebaikan dan melarang dari perbuatan yang munkar “. (Q.S. At Taubah :7)
Dan firman Allah (artinya) : “Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan
kadar kemampuan kalian ” (Q.S. At Taghaabun : 16)
Dan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya ) : “Barang siapa diantara kalian yang
melihat suatu perbuatan munkar, maka hendaklah dia rubah dengan tangannya. Jika
dia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika dia tidak mampu, maka dengan
hatinya. Yang demikian itu (merubah kemungkaran dengan mengingkari dalam hati )
adalah selemah-lemahnya iman “.( Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya)
(Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz ’,
Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid)
Sumber
:Buletin Dakwah Al-Atsary, Semarang Edisi 12/Th.I